Acehreportase.id|JAKARTA– Konflik agraria kembali menyeruak di Kecamatan Geureudong Pasee, Kabupaten Aceh Utara. PT Setya Agung, perusahaan perkebunan sawit yang sudah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) sejak era Orde Baru, dituding merambah ke lahan milik warga hingga ke perkampungan. Isu ini menambah panjang deretan sengketa tanah yang tak kunjung tuntas di Aceh.
Informasi diperoleh Sabtu, 30 Agustus 2025, seorang warga Gampong Peudari, Surya Darma atau akrab disapa Bahagia, mengaku janji perusahaan untuk menyediakan lahan plasma seluas 2.000 hektar tak pernah direalisasikan. “CSR tak jelas, plasma hampa. Untuk lahan plasma malah tanah dan rumah kami yang dimasukkan, bahkan yang sudah bersertifikat,” ungkapnya saat dihubungi melalui panggilan WhatsApp.
Bahagia juga menyoroti soal tenaga kerja. Menurutnya, perusahaan lebih mengutamakan pekerja dari luar daerah ketimbang warga setempat. “Kalaupun ada hanya buruh lepas tanpa BPJS dan jaminan hari tua. Warga lokal hanya jadi buruh kasar, sementara tenaga tetap justru didominasi orang luar,” tambahnya.
Warga lainnya menuturkan, hingga kini luas pasti HGU yang dikuasai PT Setya Agung belum pernah diumumkan secara transparan. Padahal masyarakat sudah berkali-kali meminta pemerintah maupun perusahaan untuk melakukan pengukuran ulang. “Infonya sangat luas, puluhan ribu hektar. Tapi kami tak pernah tahu pastinya. Yang kami tahu, lahan garapan warga makin terhimpit,” ujarnya.
Sejumlah tokoh lokal bahkan menyebut, HGU PT Setya Agung sejak masa Orde Baru mencapai sekitar 26.000 hektar. Angka itu dianggap terlalu besar dan berpotensi menyingkirkan warga yang sudah turun-temurun hidup dari tanah di kawasan tersebut.
Ketua DPW Tani Merdeka Provinsi Aceh, Cut Muhammad, yang sejak awal mengawal kasus ini, angkat bicara tegas. Sabtu, 30 Agustus 2025, ia mendesak PT Setya Agung untuk tidak berlindung di balik izin HGU dalam menguasai tanah rakyat. “Kami tidak menolak investasi, tapi jangan jadikan HGU sebagai senjata untuk mengusir rakyat dari tanah leluhur,” kata Cut.
Menurutnya, negara tidak boleh abai terhadap konflik agraria yang berulang. “HGU bukan kitab suci, izin itu bisa ditinjau ulang. Kalau tidak, konflik ini akan jadi bara yang membakar Aceh. Negara harus hadir melindungi rakyat kecil, bukan hanya melayani kepentingan segelintir pemilik modal,” tegasnya.
Cut Muhammad menambahkan, persoalan tanah yang diduga dikuasai PT Setya Agung juga sudah ia sampaikan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Tani Merdeka beberapa hari lalu. “Saya sudah sampaikan dalam forum nasional, karena kasus ini bukan hanya soal lahan, tapi soal keadilan rakyat. Jangan sampai konflik agraria di Aceh makin meluas dan menimbulkan gejolak sosial,” ujarnya.
Di sisi lain, pihak PT Setya Agung ketika dikonfirmasi memberikan penjelasan berbeda. Seorang yang mengaku staf perusahaan merespons melalui pesan WhatsApp. “Wa’alaikum salam Pak… Kalau masalah plasma kan sudah terjawab dan dikerjakan Pak. Untuk tenaga lokal juga kita banyak dipekerjakan, hampir 80 persen kita memakai tenaga lokal Pak. Program CSR juga kita sudah lakukan Pak,” tulisnya singkat.
Namun, penjelasan itu justru menimbulkan tanda tanya baru. Di lapangan, warga menyebut plasma 2.000 hektar tidak pernah mereka terima, bahkan sebagian lahan dan rumah warga justru masuk dalam klaim plasma. Begitu pula soal tenaga kerja, mayoritas warga menilai hanya mendapat kesempatan sebagai buruh lepas tanpa jaminan sosial dan masa depan. Program CSR yang disebut sudah berjalan pun dianggap tak jelas arah dan manfaatnya.
Sampai saat ini, pemerintah daerah maupun kementerian terkait belum memberikan keterangan resmi mengenai konflik tersebut. Padahal, warga telah berulang kali menyurati instansi terkait untuk meminta audit ulang HGU dan menuntut kepastian hak mereka.
Kondisi ini membuat masyarakat di Geureudong Pasee terus diliputi kecemasan. Mereka khawatir tanah garapan yang menjadi tumpuan hidup akan hilang satu per satu. “Kalau tanah dirampas, kami mau makan apa? Semua dari tanah. Sawah, kebun, itu hidup kami,” keluh seorang petani.
Kasus PT Setya Agung memperlihatkan bagaimana warisan kebijakan agraria sejak masa Orde Baru masih meninggalkan luka hingga kini. HGU berskala besar yang dikeluarkan puluhan tahun lalu kini berhadapan dengan fakta bahwa tanah yang sama sudah lama dikelola warga. Ketika izin korporasi berbenturan dengan hak rakyat, konflik menjadi tak terelakkan.
Hingga berita ini diturunkan, redaksi masih berupaya meminta klarifikasi lanjutan dari pihak manajemen PT Setya Agung. Nomor kontak yang disebut sebagai perwakilan perusahaan belum memberikan penjelasan lebih rinci terkait keluhan warga.(MU)